Waktu itu usiaku masih 20-an tahun. Setiap kali mendengar ada lelaki yang menikah lagi, aku mendoakan kecelakaan atasnya.
“Seandainya aku yang jadi istri pertama, aku akan melemparnya sebagaimana ia telah melemparku,” demikian komentarku yang kemudian menimbulkan perdebatan dengan saudara dan pamanku. Keduanya berusaha memahamkan bahwa poligami dibolehkan dalam Islam. Tetapi aku menjawab culas: “Mustahil aku bersama perempuan lain dalam memiliki suami!”
Tak cukup berkomentar dan mendoakan, terkadang aku juga memprovokasi seorang wanita karena dia akan dimadu. Aku bakar semangat perlawanannya hingga kemarahannya tersulut dan akhirnya memberontak pada suami.
Di tengah kebanggaan akan pendirian itu, waktu terus berjalan. Tahun demi tahun berganti sementara aku menunggu seorang pemuda impian melamarku. Lama-lama aku merasakan penantian panjang yang kian menyesakkan dada. Usiaku hampir 30 tahun tapi tak kunjung ada lamaran yang datang.
30 tahun terlewati sudah sejak aku dilahirkan. Ya Salam… haruskah aku mencari suami sendiri? Tidak! Aku tidak mau disebut perempuan tak tahu malu. Yang bisa kulakukan hanya sebatas meminta keluargaku mencarikan calon suami.
Satu hari saat melewati kerumunan orang, tanpa sengaja aku mendengar mereka mengobrol. “Kasihan ya Fulanah kini menjadi perawan tua…” Ya Allah… bukankah itu namaku. Jadi mereka membicarakan aku dan menyebut aku perawan tua. Aku hanya bisa mempercepat langkah. Aku tidak ingin air mata ini tumpah sebelum tiba di rumah. Usiaku kini memang sudah kepala tiga, tapi hari itu aku baru mendengar bahwa aku telah disebut sebagai perawan tua.
“Dik, tadi ada seorang laki-laki yang datang menanyakanmu. Ia ingin melamarmu,” kata kakakku beberapa waktu setelah berlalu peristiwa itu. Aku sangat senang mendengarnya, akhirnya jodohku akan tiba juga.
“Tapi aku menolaknya…” kalimat lanjutan itu bagai petir di siang hari.
“Mengapa kakak menolaknya?” tanyaku terbawa emosi. Perasaanku saat itu tak kalah parah dari seseorang yang mencari untanya yang hilang di tengah padang pasir, tetapi begitu ditemukan, unta tersebut lari lagi.
“Sebab ia melamarmu untuk menjadi istri kedua. Tentu saja aku menolaknya karena aku tahu engkau anti-poligami”
“Tapi aku menolaknya…” kalimat lanjutan itu bagai petir di siang hari.
“Mengapa kakak menolaknya?” tanyaku terbawa emosi. Perasaanku saat itu tak kalah parah dari seseorang yang mencari untanya yang hilang di tengah padang pasir, tetapi begitu ditemukan, unta tersebut lari lagi.
“Sebab ia melamarmu untuk menjadi istri kedua. Tentu saja aku menolaknya karena aku tahu engkau anti-poligami”
Ya Allah… ingin rasanya aku menjerit. Aku sudah berubah sejak disebut perawan tua. Kini aku rela menjadi istri kedua, ketiga ataupun keempat. Aku pun rela seandainya aku dinikahi lalu suamiku menikah lagi.
Aku kini sadar bahwa yang paling dibutuhkan oleh wanita sepertiku adalah seorang suami. Aku tidak ingin hidup sendiri. Aku ingin memiliki imam. Aku ingin bisa berbagi suka dan duka. Terlalu berat hidup ini tanpa suami yang menemani.
Aku kini sadar mengapa Islam membolehkan –bahkan menurut sebagian ulama menganjurkan- poligami. Di Saudi ini, jumlah wanitanya lebih banyak daripada jumlah laki-laki. Jika laki-laki dilarang poligami, berarti saat ini banyak wanita sepertiku.
Karenanya melalui majalah ini kutulis seruanku, “Wahai para lelaki muslim, berpoligamilah dua, tiga atau empat. Asalkan engkau dapat berlaku adil sebagaimana firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 3.”
“Wahai para muslimah… bersyukurlah kalian yang telah menikah. Dan meskipun berat, ijinkanlah suami kalian berpoligami. Untuk menyelamatkan kami agar tidak menjadi perawan tua selamanya. Juga untuk menyelamatkan janda-janda. Yang semakin lama, semakin sulit bagi mereka hidup sendiri. Jika kau mau berbagi, insya Allah pahala besar menanti.”